New Delhi:
Barack Obama membuat sejarah sebagai presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat pada tahun 2009. Namun perjalanan menuju pencapaian monumental ini penuh dengan tantangan dan perjuangan bagi orang Amerika keturunan Afrika. Setelah Perang Saudara, dengan penghapusan perbudakan yang diresmikan melalui Amandemen ke-13 pada tahun 1865, sekitar 4 juta orang kulit hitam Amerika yang dibebaskan sangat ingin mendapatkan tempat mereka sebagai warga negara penuh, termasuk hak penting untuk memilih. Namun, jalan untuk mencapai hak ini sama sekali tidak mudah.
Amandemen ke-15, yang diratifikasi pada tahun 1870, bertujuan untuk melarang penolakan hak suara berdasarkan ras, warna kulit, atau kondisi perbudakan sebelumnya. Terlepas dari jaminan konstitusional ini, banyak negara bagian menerapkan taktik seperti tes melek huruf, pajak pemungutan suara, dan praktik diskriminatif lainnya untuk mencabut hak pemilih kulit hitam. Hal ini secara efektif menegakkan kembali Kode Hitam yang menindas, berkembang menjadi undang-undang Jim Crow, dan menegakkan segregasi rasial dan ketidaksetaraan sistemik selama hampir satu abad. Beberapa aktivis bahkan terbunuh dalam upaya mereka mengamankan pendaftaran pemilih pada periode ini.
Undang-undang setempat memberlakukan segregasi rasial di seluruh fasilitas umum, sehingga menciptakan masyarakat yang “terpisah namun setara” di mana sekolah, transportasi, toilet, dan restoran dipisahkan berdasarkan ras.
Gerakan hak-hak sipil pada tahun 1950an dan 60an mengungkap ketidakadilan ini dan menghasilkan kemenangan legislatif yang signifikan. Amandemen ke-24, yang diratifikasi pada tahun 1964, berupaya menghilangkan pajak pemungutan suara dalam pemilihan federal, sehingga semakin memajukan hak suara bagi orang Amerika keturunan Afrika.
Undang-Undang Hak Pilih tahun 1965, yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Lyndon B. Johnson, bertujuan untuk menghilangkan hambatan yang telah lama menghalangi warga Afrika-Amerika untuk memilih. Undang-undang penting ini menghasilkan lonjakan pendaftaran dan partisipasi pemilih kulit hitam.
Namun bahkan setelah UU Hak Pilih, perjuangan untuk hak memilih yang adil terus berlanjut. Pada tahun 2013, keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Shelby v. Holder membatalkan ketentuan-ketentuan utama dalam Undang-Undang Hak Pilih, yang mengakibatkan upaya baru oleh beberapa negara bagian untuk menerapkan pembatasan yang secara tidak proporsional berdampak pada pemilih minoritas.